Memantaskan IPNU Sebagai Penerus NU: Momen Reflektif Harlah Ke-60

Memantaskan IPNU Sebagai Penerus NU: Momen Reflektif Harlah Ke-60
Mengawali Kegelisahan

Keramaian dan tumbuh suburnya organisasi, khususnya dilingkungan NU, kadang menyisakan ambivalensi; magak dan tidak berkarakter. Seluruh anatomi organisasi, di internal NU, tidak pernah lepas dari keterkungkungan “Jabatan Ganda”. Fenomena itu terjadi baik antar struktur pengurus suatu organisasi, atau diantara badan otonom yang lain. Padahal, masing-masing badan otonom, baik dalam hierarkhi struktur maupun standar administrasi, memiliki tradisi nilai, visi dan arah gerakan yang, tentu, saling berbeda. “Jabatan Ganda” telah mengaburkan pembeda jelas dari masing-masing struktur suatu organisasi, maupun diantara badan otonom di lingkungan NU itu. Fenomena semacam itu, telah menegaskan ambivalensi, yang, sekali lagi, magak dan tidak berkarakter.

Selain”Jabatan Ganda”, bersimpul kuat pula dalam ambivalensi tersebut, muncul fenomena “Klientilisme Resiprokal”. Jaringan kepatuhan diantara kader, alumni dan anggota yang lain telah mengalienasi kompetisi diantara kader secara fair, dan agaknya fenomena ini menjangkit secara kontinyu dan signifikan. Sebab, hubungan klientilistik itu selalu bersifat resiprokal; saling memberi, saling menerima. Mereka yang terperangkap pada sikap klientilistik macam ini, akan terus mengupayakan secara subjektif, pada mereka saja yang telah berkontribusi banyak hal bagi jaringan kepatuhan tersebut. Klientilisme Resiprokal selalu memberi kesan bahwa organisasi adalah imperium bagi arena dominasi jaringan klientilisme kuasa terhadap klientilisme pinggiran.

Fenomena berikutnya, sebagai titik kegelisahan penulis, tidak lain menguatnya tendensi Oligarki. Fenomena oligarki ini seringkali paralel dengan klientilisme. Mereka yang menang, selalu mengeliminir pesaing. Mereka yang kuat, mendaku diri sebagai “Pemegang Saham” organisasi. Sedangkan jaringan klientilisme yang kalah, harus siap terhengkang dari kuasa metropolis. Kompetisi kader, tidak pernah diciptakan secara diskursif dan kompetitif, melainkan hegemonik dan politis. Kekuatan oligarki selalu bersemayam dalam penentu kebijakan organisasi, terutama berkaitan pada momen suksesi organisasi.

IPNU sebagai  ujung tombak awal proses pengkaderan dalam NU, sebagai pula kawah candradimuka kaum pelajar dalam mengawal proses-proses intelektualitas di tubuh NU. Lalu, bagaimana dengan kondisi IPNU kini yang kian renta? Apa saja proses pemantasan diri yang telah dilakukan oleh IPNU sebagai penerus NU? Atau, jangan-jangan IPNU tidak lebih baik dengan organisasi atau badan otonom NU yang lain?

IPNU: Sejauh yang Saya Ketahui  

Kurun beberapa waktu terakhir IPNU dianggap sebatas organisasi pelajar yang komplementer. Aktifitas dan rutinitas yang dijalin diantara struktur kepengurusan hanya bersifat simbolik. Bahkan, jalinan komunikasi, alur koordinasi dan penataan administrasi organisasi digenjot dalam titik kulminasi secara tiba-tiba pada momen politis saja; Rapat Anggota, Konferancab, Konfercab, Konferwil hingga Kongres.

Fakta demikian telah menegaskan, bahwa IPNU tidak jauh berbeda dengan badan otonom NU yang lain. Menjadikan dalih-dalih penataan, tetapi kepentingan faktualnya adalah mengonsolidasi kekuatan-kekuatan jaringan klientilisme diseluruh lini untuk memperjuangkan suatu hal; apalagi kalau bukan menyukseskan seorang kader untuk menduduki jabatan tertentu dalam organisasi. Lebih sial lagi, jaringan klientilisme itu selalu digerakkan oleh bayang-bayang kekuatan oligarki organisasi, dimana pemilik otoritas tunggal dalam penentu kebijakan pada momen politis adalah kekuatan oligarki yang bersemayam dalam bentuk personifikasi senior dan pemegang struktur sebelumnya. Maka tidak heran, arena kompetisi diantara kader dalam IPNU tidak diciptakan secara fair melainkan lebih bersifat hegemonik dan dominatif.

Jaringan klientilisme dan oligarki itu yang berakar pada adagium “saling memberi, saling menerima” telah membawa kehancuran IPNU itu sendiri. Muncul kader-kader hipokrit yang berkemampuan medioker menjadi bagian inti dalam struktur IPNU. Mereka diciptakan oleh instanisme yang diperoleh secara cepat, karena kedekatannya dengan jaringan klientilisme yang bersemayam dalam kekuatan oligarki organisasi. Sehingga, kader hipokrit dan berkemampuan medioker itu selalu menjadi penentu kebijakan organisasi yang, bukan tidak mungkin, menjadi makelar, pemburu rente, dan bermental koruptif untuk menjual aset organisasi.

Melampaui klientilisme dan oligarki itu, IPNU pun tidak pernah ketat dalam penataan struktur kader. Fenomena rangkap jabatan dalam Peraturan Rumah Tangga IPNU dibuat sangat fleksibel dan tidak terlampau rigid. Hal demikian berbeda secara diametral dengan konstitusi GP. Ansor yang cenderung lebih ketat dan terstruktur rapi, nyaris tidak ada sela sedikitpun bagi kader GP. Ansor dalam upayanya untuk rangkap jabatan.

Kita bandingkan konstitusi diantara dua organisasi ini yang mengatur berkaitan ketegasan rangkap jabatan. Sebagaimana PRT IPNU (Hasil Kongres 2009) Bab VII Pasal 22 tentang Rangkap Jabatan “Rangkap jabatan organisasi adalah merangkap dua atau lebih jabatan kepengurusan harian di lingkungan Nahdlatul Ulama, atau kepengurusan IPNU di daerah atau tingkat yang berbeda.” Sebaliknya, konstitusi GP. Ansor berdasarkan Peraturan Organisasi (Hasil Konbes 2012) Bab III Pasal 9 Ayat B “Seluruh jabatan pengurus Gerakan Pemuda Ansor dengan jabatan pengurus harian di PBNU termasuk Banom-banomnya kecuali jabatan Dewan Penasehat.” Ketegasan yang bernegosiasi semacam itu, sebenarnya, tidak langsung telah berakibat fatal pada upaya perapian organisasi dan penataan kader di lingkungan IPNU sendiri.

Klientilisme resiprokal, oligarki organisasi hingga problem rangkap jabatan telah menghasilkan mental organisasi IPNU yang telah kehilangan ruh pergerakannya. Tidak heran, bila IPNU kemudian hanya menjadi organisasi “kelas dua” di lingkungan NU. Sebab, Klientilisme resiprokal, oligarki organisasi dan fenomena rangkap jabatan adalah sebentuk logika konservatif yang menolak tentang ide kebaruan, kreatifitas dan inovasi. Maka sesampainya perjalanan IPNU hingga kini, mereka adalah sekumpulan yang tidak lebih sebagai penopang tradisi, bukan pendorong akselerasi nilai.

Ahlussunnah Wal Jama’ah bukan produk doktriner yang kaku, melainkan suatu manhaj berpikir yang sifatnya simultan, terus bergerak, dan selalu peka terhadap kontekstualitas. Sayangnya, sebagai penopang tradisi, IPNU selalu melihat Aswaja sebatas doktrin-doktrin suci dan kredo-kredo aksiomatik, sehingga mengutak-atiknya adalah haram, dan keluar dari NU. Padahal, kita tentu ingat bagaimana diskursus yang ditampilkan oleh Mbah Bisri Syansuri dengan Mbah Wahab Hasbullah dalam arena-arena Bahsul Masail dan Munas Alim Ulama’. Beliau berdua, meski masih bersanad intelektual kepada mbah Hasyim Asy’ari, keduanya tidak segan-segan berdebat habis untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi kepentingan umat. Sayangnya, IPNU tidak pernah menjadi pendorong akselerasi nilai dalam upaya melakukan simultanisasi Aswaja sebagai manhaj berpikir.

Kita tidak boleh naïf, seluruh rangkaian kegiatan IPNU, baik aktifitas program kerja maupun visi kerja kepengurusan, selalu saja terjebak pada logika modernisme; yang menghamba pada keteraturan, selalu tunduk pada penanda simbolik dan narasi besar, sekaligus kerap sibuk merias diri ditengah ringkihnya struktur organisasi dan sistem pengkaderan yang ada di internal IPNU. Aktifitasnya selalu hingar-bingar riuh tak terkendali ketika mengadakan Maulid Nabi, Tahlil dan Istighotsah, tapi selalu kering dan sunyi oleh semangat diskursif, kritisisme dan pengayaan intelektual terhadap problem-problem umat. Fenomena itu meminjam istilah Baudrillard, seorang Post-Modernism ekstrem, IPNU telah terjebak pada Hiper-realitas; bahwa organisasi hanya bisa dinyatakan bergerak melulu karena mampu menggerakkan tradisi rutinitas, hingga melupakan esensi dan ruh perjuangan utama, yakni, menyemai semangat Altruisme yang berpihak pada Sub-altern, dan penguatan struktur organisasi serta pembenahan sistem kaderisasi. Maka, tidak heran bila IPNU itu selalu cantik diluar, tapi keropos didalam.

Ada sederet intelektual NU jaman dulu, dimulai dari Mbah Hasyim Asy’ari seorang Ulama hadits terkemuka, lalu muncul Mbah Bisri Sansuri, ulama fikih yang tidak pernah mau bernegosiasi terhadap masalah agama, adapula Mbah Wahab Hasbullah yang selalu mengedepankan Ushul Fiqh. Sampai muncullah sederet intelektual kontemporer NU semacam (Almaghfurlah) Gus Dur yang konsisten dengan ide Islam Pribumi dan Keberpihakan pada kaum minoritas, lalu (Almaghfurlah) Mbah Sahal Mahfudl, yang pandangannya sangat luwes dan mampu mengayomi banyak golongan, dan ada pula KH. Masdar F. Mas’udi, salah satu Ketua PBNU yang berani mengkritik Kitab Safinatun Najah. Apakah kader IPNU tidak pernah berkaca dan menyemai spirit beliau-beliau semua? Atau, jangan-jangan beliau semua hanya dianggap sebagai berhala-berhala; yang hanya cukup diberi sesaji Al-fatihah, dan abai terhadap spirit intelektualnya? Semua itu, karena IPNU sedang terjebak pada logika konservatisme yang disebabkan oleh Klientilisme resiprokal, Oligarki organisasi dan rangkap jabatan. Kader-kader baru, diluar jaringan klientilisme itu, yang menawarkan ide-ide segar, gagasan-gagasan kritis, selalu harus rela terhengkang dari satelit kuasa.

Harlah Sebagai Momentum Refleksi: Mari Memantaskan Diri

Sebagaimana Nadirsyah Hosen dalam (Misrawi, 2010: XXIII), Khazanah kitab kuning telah mengenalkan kepada kita tentang Matan (Inti), Syarh (Ulasan), dan Hasyiyah (catatan pinggir). Tradisi itu sebenarnya, menyerukan kepada kita untuk terus melakukan pembacaan dan pengayaan oleh karya-karya ulama terdahulu. Dalam konteks organisasi, maka kita harus terus berupaya untuk melakukan refleksi total terhadap diri kita atas gagasan pemikiran ulama-ulama dan intelektual NU terdahulu. Sebagaimana pula adagium kaum nahdliyyin “Al Muhafadzatu Ala Qadim Ash Sholih Wal Akhdzu bi Al Jadidi Al Ashlah”.

Refleksi ini, bermula dari kegelisahan penulis dimuka, tidak lain berupaya untuk terus melestarikan budaya oto-kritik terhadap organisasi yang selama ini telah membentuk karakter kita. Kedepan, saya berharap, organisasi adalah ruang terbuka bagi pagelaran kompetisi yang fair diantara kader dalam memberikan kontribusi nyata bagi organisasi kita tercinta ini. Jangan sampai, karena berseberangan dengan klientilisme dan oligarki, akhirnya lalu mengorbankan kader-kader terbaik kita. Sehingga, secara tidak sadar kita telah mengamputasi gagasan pemabaharuan yang sebenarnya sangat signifikan bagi perbaikan organisasi kita sendiri. Pertimbangan-pertimbangan kebaikan organisasi jangan sampai lacur oleh kepentingan-kepentingan politis-klientilistik.

Kegelisahan penulis demikian penting diajukan, karena IPNU kini telah berumur senja. 60 tahun, secara psikologis, adalah umur dimana manusia mengalami fase anti-klimak. Dan, apabila IPNU tidak bersegera diri melakukan refleksi total, maka tidak heran, bila IPNU kemudian mengalami titik yang memprihatinkan, sebagaimana suatu adagium  “La yamutu wa la yahya”. Sudah saatnya, kita memantaskan diri untuk menjadi penerus NU, yang tidak lagi rela dipandang sebagai organisasi “Kelas Dua”.

Jangan pernah menjadikan alasan-alasan klientilisme, oligarki dan rangkap jabatan untuk membuang kader-kader terbaiknya untuk terlibat dalam memberi kontribusi terhadap organisasi ini. Jangan lagi, menggunakan logika-logika politik dalam memperjuangkan organisasi ini. Jangan pula, hanya berpikir merias dan menyolek organisasi yang hanya indah diluar, tapi keropos didalam. Meskipun, alasannya adalah karena cinta. Sebab, seharusnya cinta pada IPNU adalah cinta “memberi”, bukan lobi politik, bukan pula atas nama kepatuhan dan jaringan klientilistik. Semua kader berhak mendapat kesempatan untuk memberi cinta, karena menurut Erich Fromm, ketika kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari tindakan memberi. Kita akan pasti menerima kebahagiaan, selagi kita dapat mencintai IPNU, tanpa perlu Lobi Politik atas dasar Klientilistik dan alasan Oligarki.

Dari saya, untuk IPNU, Selamat merayakan Hari Lahir ke-60, selamat pula bagi seluruh pengurus IPNU melaksanakan RAKERNAS, semoga kegelisahan ini menjadi perhatian bagi pengurus pusat, dari penulis yang tidak pernah ingin menjadi besar hanya karena mencintai IPNU.

---------
(Penulis adalah Jama’ah NU Miring, Aktifis “IPNU Cabang Facebook dan Twitter”, Sekaligus Pengelola Paguyuban “Ahlul Kofi Wal Jama’ah”. Dapat dijumpai di FB: Achmad Azmi Musyadad, Twitter: @AzmiMusya)