KH. Bisri Syansuri

KH. Bisri Syansuri
RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar KH. Bisri Syansuri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.

Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, beliau tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP.

Diakui atau tidak, beliau adalah penerus KH Abdul Wahab Hasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik di NU, PPP, maupun DPR.

Setelah KH Abdul Wahab Hasbullah wafat pada 1971, beliau menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais 'am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais 'am, yang ditetapkan setelah wafatnya KH Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan wakil.

KH. Bisri Syansuri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/28 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi ajaran Islam.

Umur tujuh tahun, beliau belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu beliau empelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu beliau ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan.

Umur 15 tahun beliau menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada KH.Cholil. Di sinilah beliau  berjumpa dan berteman akrab dengan KH Abdul Wahab Hasbullah.

Dari Bangkalan, beliau menuju Jombang, berguru kepada KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Setelah enam tahun, beliau mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.

Seusai dari Tebuireng, beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama KH Abdul Wahab Hasbullah (1912). Di sana beliau berguru kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas.

Tahun 1914 beliau mempersunting adik KH Abdul Wahab Hasbullah  Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.

Pada 1917, atas bantuan mertua, beliau membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, KH Abdul Wahab Hasbullah  pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang KH Abdul Wahab Hasbullah ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya.

Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Hasyim Asy’ari.

Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal secara luas.

Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung KH Hasyim Asy’ari, gurunya.

Ketika Masyumi terbentuk, beliaupun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata. Di pemerintahan, beliau mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 beliau terlibat dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 beliau terpilih masuk DPR.

KH. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun.