Logo Konferwil NU Jawa Timur 2013
KONFERENSI Wilayah (Konferwil) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur di Lebo, Sidoarjo, hari ini hingga lusa (31 Mei - 2 Juni 2013) menyita perhatian banyak kalangan. Selain karena posisi strategis NU di Jatim dan dalam konteks nasional, momen lima tahunan ini beriringan dengan berbagai momen politik.

Tidak bisa dimungkiri, beberapa kelompok kepentingan eksternal yang terkait dengan pemilihan gubernur (pilgub) dan Pemilu 2014 telah lama ''mengintip'' dinamika internal NU. Saat ini, mereka berusaha masuk dan memengaruhi suasana, termasuk agenda pemilihan rais syuriah dan ketua tanfidziyah lima tahun ke depan. Para peserta konferensi seyogyanya mengingat beberapa tantangan NU ke depan. Dengan demikian, godaan dan pengaruh yang masuk dapat difilter, sehingga tidak merugikan jangka panjang.

Menurut saya, ada tiga tantangan dan sekaligus agenda besar NU Jatim ke depan. Tiga tantangan tersebut terutama terkait dengan arus globalisasi yang mewujud dalam invasi kultural dan ekonomi dalam kemasan pasar bebas. Tiga agenda itu adalah penguatan kelembagaan, kaderisasi, dan kemandirian ekonomi.

Agenda pertama terkait dengan adagium bahwa ''NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil''. Dengan kata lain, penguatan kelembagaan NU diyakini membawa implikasi pada penguatan kelembagaan pesantren. Tanpa itu, NU dan pesantren bisa jadi akan menjadi buih di tengah lautan. Tampak besar di permukaan, tapi sebenarnya mudah terombang-ambing gelombang.

Penguatan kelembagaan juga diperlukan untuk memperkukuh infrastruktur internal NU. Sebagaimana kelembagaan pesantren telah mengalami perubahan dan penguatan secara gradual, kelembagaan NU juga harus diperkuat dengan arahan yang jelas. Di lingkungan pesantren, posisi kiai (pimpinan pesantren) tetap menjadi sentral, namun struktur kelembagaannya juga telah diperkuat dengan organisasi dan administrasi modern.

Dalam konteks NU, posisi syuriah sebagai pemimpin tertinggi dan panduan moral nahdliyin perlu terus diperkuat dari berbagai sisi. Pada saat yang sama, penguatan struktur tanfidziyah sebagai pelaksana kebijakan syuriah juga harus dilakukan secara simultan. Sebagaimana di pesantren, posisi syuriah harus menjadi sentral dan kunci, sedangkan tanfidziyah menjadi pelaksana teknis kebijakan syuriah.

Mengutip pendapat KH Hasyim Muzadi, penguatan syuriah bisa dilakukan dengan menggabungkan lima unsur di dalamnya. Yaitu: (1) fuqaha' (ahli fikih) yang menerjemahkan hukum syar'i sesuai dengan konteks perkembangan zaman; (2) hukama' yang sangat memahami seluk-beluk tata kenegaraan; (3) ahli riyadlah yang bisa menghidupkan indra batiniah (bashar dan bashirah); (4) gabungan mursyid dan murabbi; dan (5) para ahli lintas disiplin yang memahami berbagai ilmu bantu.

Jika hal itu dapat diwujudkan, agenda kedua secara otomatis telah mendapat ruang memadai. Diakui atau tidak, selama ini proses kaderisasi di tingkat kepengurusan NU cenderung kurang dinamis. Hal tersebut terkait dengan posisi kepengurusan NU yang dianggap sebagai ''puncak karir'' seorang kader dalam ber-jam'iyah.

Sering terjadi, fungsionaris di dalam struktur NU biasanya enggan ke posisi lain. Akibatnya, proses kaderisasi pun mandek dan banyak kader potensial yang tidak terakomodasi dan tidak jarang justru ''dimanfaatkan'' organisasi lain dan menjadi generasi NU yang hilang (lost generation).

Karena itu, yang dilakukan PB NU pascamuktamar Makassar dengan merekrut beberapa kader muda ke dalam struktur inti patut ditiru PW NU Jatim. Tentu saja dengan memperhatikan rekam jejak personal dan kaderisasi. Langkah PB NU yang tidak menabukan rotasi kepengurusan di tengah jalan, sebagai bentuk reward and punishment, juga merupakan sebuah cermin bening yang tidak kalah penting.

Di atas itu semua, agenda kemandirian ekonomi menjadi variabel determinan NU dalam konteks globalisasi. Tanpa kemandirian ekonomi, NU akan selalu berada dalam bayang-bayang kepentingan politik dan ekonomi kelompok lain. Upaya membangun kesadaran terhadap ancaman era pasar bebas sebenarnya telah bergulir di arena konferwil. Terutama materi sidang komisi program, rekomendasi dan pembahasan masalah-masalah keagamaan (bahtsul masail diniyah).

Di tengah hiruk pikuk perang opini yang terjadi, tidak banyak pihak yang tahu bahwa materi bahtsul masail konferwil telah merespons era pasar bebas dalam perspektif fikih. Sebagai antisipasi terhadap pemberlakuan pasar bebas, upaya pemerintah memberikan proteksi terhadap produk lokal dan pengusaha domestik dipertanyakan secara mendalam dalam forum ini. Juga impor komoditas tertentu, peningkatan penggunaan komponen lokal (local content) dan penyediaan lapangan kerja, serta berbagai regulasi terkait lainnya.

Forum bahtsul masail juga mempertanyakan, tergolong proteksikah bila terjadi monopoli oleh badan usaha milik negara (BUMN) atas komoditas strategis? Juga, apakah pihak asing diperbolehkan membuka usaha eksplorasi sumber daya alam, penguasaan sektor perkebunan dalam skala masif, serta pembelian surat utang negara (SUN)?

NU dan Indonesia memang tidak hidup di ruang hampa. Pengurus PW NU Jatim telah sadar bahwa kawasan ASEAN terikat pakta ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA),ASEAN Economic Community, bahkan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Kesadaran para ulama NU dalam merespons tantangan globalisasi dan pasar bebas tersebut akan terkesan naif tidak selaras dengan pertimbangan yang digunakan dalam proses pemilihan pucuk pimpinannya. Apalagi jika hanya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lokal dan berjangka pendek. Wallâhu-l musta'an!

Penulis: Nur Hidayat (Wakil sekretaris PW NU Jatim 2008-2013)
Sumber : JAWA POS, 31 Mei 2013

Logo Konferwil NU Jatim 2013
Surabaya, NU Online. Tidak semata menjadi media melakukan evaluasi dan sejumlah program kerja serta pemilihan kepengurusan NU Jawa Timur lima tahun mendatang, Konferwil juga menyediakan forum diskusi untuk memantapkan Aswaja.

Selama dua hari yakni hari Sabtu hingga Ahad (1-2/6), Aswaja NU Center PWNU Jatim menyediakan forum tersendiri bagi para warga dan peserta Konferwil untuk mengasah dan memperdalam pemahaman dan keyakinan terhadap Aswaja ala NU. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Aswaja NU Center dengan penerbit dan distributor buku ke-NU-an, Khalista Surabaya.

KH Abdurrahman Navis selaku Direktur Aswaja NU Center PWNU Jatim secara rinci menyebutkan agenda kajian yang akan berlangsung tersebut. Untuk hari pertama yakni Sabtu jam 09.00 hingga 10.30 adalah sosialisasi Aswaja NU Center dan bedah buku Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. 

Untuk hari dan kesempatan pertama, saya yang mengisi,” kata Kiai Navis, sapaan akrabnya kepada NU Online (30/5). Buku ini merupakan hasil kerja kolektif tim Aswaja NU Center PWNU Jatim dalam rangka memberikan wawasan dan pendalaman bagi kebiasaan yang dilakukan warga NU dalam beribadah.

Usai itu dilanjutkan dengan dua buku sekaligus karya Rais Syuriah PC NU Jember, KH Muhyiddin Abdusshomad dengan judul  Hujjah NU dan Argumen Amaliah di Bulan Sya’ban dan Ramadhan. "Bila tidak ada perubahan, maka acara ini berlangsung mulai jam 10.30 hingga 12.00 WIB,” tandas Ma’ruf Asrori, Komisaris sekaligus Direktur Utama Khalista.

Usai shalat Dhuhur dan makan siang, peserta akan disuguhkan dengan buku yang paling baru berjudul Belajarlah kepada Lebah dan Lalat: Menuju Kokoh Spiritual, Mapan Intelektual karya Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Agoes Ali Masyhuri atau Gus Ali.

Buku ini baru saja terbit menjelang Konferwil dan merupakan catatan ceramah dari Gus Ali yang disampaikan baik di TV maupun pengajian rutin di masjid pesantren,” kata Cak Ma’ruf, sapaan akrab Direktur Khalista.

Pada jam 14.00 hingga 16.30 WIB, para peserta akan mendapatkan materi seputar Firqah Aliran yang Menggerogoti NU. Pandangan dan ulasan ini disampaikan Ustadz Faris Khoirul Anam. Malamnya yakni jam 19.00 hingga 23.00 WIB akan tampil Ustadz Idrus Ramli memberikan materi Strategi Dakwah Aswaja di Tengah Persinggungan antar Aliran”.

Sedangkan pada hari Ahad, ada empat agenda acara yang akan digelar. Pertama, bedah buku dengan judul Bekal Aswaja Menghadapi Radikalisme Salafi Wahabi karya Ustadz Idrus Ramli, dilanjutkan dengan Tantangan Aswaja di Dunia Islam oleh Ustadz Arya Muhammad Ali, kemudian “Sosialisasi Hasil Bahtsul Masail LBM PWNU Jatim” oleh KH Romadlon Khotib dan dipungkasi oleh Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Miftachul Akhyar yang akan memberikan pencerahan seputar “Aktualisasi Qanun Asasi NU

Kiai Navis menandaskan bahwa acara ini sangat menarik dan penting karena diisi oleh para narasumber yang kompeten. Hal senada disampaikan Cak Ma’ruf. “Kegiatan ini sebagai upaya membentengi dan memberikan solusi persoalan nyata yang dihadapi masyarakat dalam hal ini warga NU,” terangnya

Alumnus Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel ini tidakmenutup mata dengan derasnya ancaman, terror bahkan intimidasi yang dilakukan Islam garis keras maupun Islam beraliran kiri terhadap eksistensi amaliah NU. 

Berdasarkan pengalaman menyelengarakan acara di tempat lain, kegiatan ini banyak membantu memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap keyakinan dan amaliah yang selama ini diyakini dan dilakukan warga NU,” tandasnya.

Bahkan seluruh kegiatan nantinya akan didokumentasi sehingga bisa dilihat dalam bentuk CD dan atau DVD. “Ini permintaan dari banyak warga yang akan hadir pada kegiatan ini,” tandasnya sumringah. Dan Khalista bersama Aswaja NU Center siap menerima permintaan tersebut. 

Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor : Syaifullah
Sumber: NU Online
Panitia SNMPTN 2013 sudah mengumumkan hasil SNMPTN 2013 secara resmi pada hari ini, Senin (27/5/2013) sore, dalam keterangan pers di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Panitia memajukan jadwal pengumuman karena alasan administratif terkait publikasi.

Dalam keterangan pers itu pula, Ketua Panitia SNMPTN 2013 Akhmaloka menyatakan bahwa pada tahun ini, sebanyak 133.604 siswa dinyatakan lolos seleksi.

Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan jumlah siswa yang paling banyak lulus SNMPTN, diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Riau. Jumlah siswa dari Jawa Timur yang dinyatakan lolos SNMPTN 2013 mencapai lebih dari 20.000 siswa. DKI Jakarta sendiri hanya duduk di peringkat kedelapan.

Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah siswa yang lolos SNMPTN pada tahun ini melalui jalur tertulis naik sekitar 323,27 persen. Hal ini disebabkan pemerintah mengubah kuota penerimaan mahasiswa. Tahun ini, pemerintah menetapkan penerimaan mahasiswa minimal 50 persen melalui jalur tertulis atau SNMPTN 2013, 30 persen melalui seleksi tertulis, dan 20 persen melalui jalur mandiri.

Dalam keterangan pers, Akhmaloka mengatakan bahwa para siswa yang lolos SNMPTN ini belum dapat dikatakan diterima oleh PTN yang bersangkutan. Pasalnya, kelulusan baru akan sah jika PTN sudah melakukan verifikasi terhadap data akademis dan kemampuan ekonomi dari siswa yang dinyatakan lolos.

"Kalau kami lihat, kami baru menyebutnya, siswa yang terseleksi. Jadi, belum bisa disebut diterima di PTN karena nanti masih ada hal-hal lain yang perlu diklarifikasi," katanya.
(Sumber: kompas.com)

Hasil SNMPTN 2013 dapat dilihat di bawah ini:
Silahkan masukkan Nama / Nomor Peserta / Kode Program Studi. Jika tercantum dalam daftar berarti anda lulus SNMPTN 2013.
Kajian Tentang Hukum Nyanyian dan Alat Musik
Al-Imam Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali telah membincangkan permasalahan hukum nyanyian dan musik dengan panjang lebar dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin dalam juz yang kedelapan pasal Al-Adat. Al-Ghazali di dalam perbincangannya telah membahaskan hukum musik dan alatnya daripada pelbagai sudut sebelum mengeluarkan pandangannya. Beliau tidak hanya berpegang dengan zahir nash malah coba menggali di sebalik nas, sebab dan ‘illah diharamkan beberapa alat musik sebagaimana yang disabdakan oleh junjungan besar Nabi Muhammad SAW dalam hadith-hadith Baginda. Ini bertitik tolak daripada pegangan beliau bahwa nyanyian dan musik adalah kelezatan-kelezatan dunia yang asalnya adalah halal dan harus. Sebab itulah beliau memasukkan perbincangan beliau tentang hukum nyanyian dan musik dalam pasal adat (rub’ul adat). Adat-adat sebagaimana dimaklumi hukum asalnya adalah harus dan halal. (Al-Aslul fil Adat Al-Ibahah – asal di dalam adat adalah harus).

Al-Ghazali menyatakan bahawa irama boleh dihasilkan melalui alatan seumpama serunai, kecapi dan gendang atau melalui kerongkong haiwan atau manusia. Alatan musik yang direka cipta pada asalnya adalah meniru makhluk-makhluk Allah SWT. Seruling yang direka adalah meniru suara yang dikeluarkan oleh kerongkong hewan. Seandainya mendengar irama-irama merdu yang dikeluarkan oleh hewan atau manusia diharuskan maka mendengar irama alat-alat musik tiada berbeda hukumnya yaitu harus dan halal. Patut dikiaskan suara (irama) yang dihasilkan oleh alat seumpama gendang, rebana, seruling dengan suara hewan dan manusia karena semuanya adalah suara atau bunyi.

Al-Ghazali menegaskan sebab pengharaman alat yang dipetik dan ditiup (seperti seruling) sebagaimana yang disebut dalam hadith Nabi SAW bukan karena alat tersebut menimbulkan kelezatan kepada pendengar. Sekiranya demikian sudah tentulah diharamkan semua jenis suara atau irama yang membangkitkan kelazatan kepada pendengar, gendang, rebana kecil (duf) dan binatang-binatang seperti burung mempunyai potensi untuk menghasilkan irama-irama merdu yang mampu membangkitkan kelezatan di dalam sudut hati pendengar. Walau bagaimanapun Islam tidak mengharamkan suara-suara tersebut. Oleh itu Al-Ghazali menyatakan sebab pengharaman alat yang disebut di dalam hadith-hadith Nabi SAW adalah karena alat-alat tersebut biasa digunakan oleh ahli-ahli fasiq, maksiat dan peminum-peminum arak dan menjadi syiar mereka.

Al-Ghazali seterusnya menguraikan sebab tersebut di dalam pernyataan - pernyataan di bawah:

  1. Irama alat tersebut mengajak pendengar kepada arak karena kelezatan iramanya disempurnakan dengan meminum arak. Hal ini ada persamaannya dengan pengharaman meminum sedikit arak walaupun ia tidak memabukkan karena dapat membawa kepada meminum kadar arak yang memabukkan.
  2. Kepada orang yang baru kenal dengan arak, bunyi-bunyi alat tersebut dapat mengingatkannya kepada tempat-tempat maksiat. Perlakuan “mengingat” ini boleh membawa kepada perlakuan meminum arak.
  3. Alat-alat tersebut adalah syiar ahli fasiq dan maksiat. Mereka menggunakan alat tersebut untuk bersuka ria di dalam majlis-majlis mereka. Berdasarkan kepada sebab ini, dianjurkan meninggalkan perkara-perkara sunnah yang menjadi syiar ahli bid’ah untuk mengelakkan menyerupai mereka. Pengharaman al-kubah adalah karena ia biasa digunakan oleh lelaki-lelaki pondan. Sekiranya tidak sudah tentu tiada beda antaranya dengan gendang haji, gendang perang dan seumpamanya.

Begitulah pandangan Imam Al-Ghazali tentang hukum penggunaan alat-alat musik. Beliau melihat di sana wujudnya sebab diharamkan alat-alat yang disebut pengharamannya melalui lisan Nabi SAW. Sekiranya hilang (gugur) sebab tersebut sudah tentulah gugur hukum pengharamannya. Bagi beliau semua perkara yang baik (At-Thayyibat) adalah halal melainkan perkara-perkara yang boleh membawa kepada kerosakan.
Firman Allah SWT:
“Katakanlah wahai Muhammad, siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-hambaNya dan mengharamkan rezeki yang halal.” (Surah Al-A’raaf : 3)
Justru itu suara dan irama yang dihasilkan melalui alat-alat musik, tidak haram ain atau zatnya tetapi ia menjadi haram hukumnya disebabkan unsur-unsur luaran sebagaimana diterangkan di atas.

PENDAPAT ULAMA-ULAMA

Para ulama menyatakan dufuf boleh digunakan dalam semua keadaan dan boleh dipukul oleh kaum lelaki dan wanita.

Golongan yang lain pula ialah ulama-ulama masa kini yang mengharuskan penggunaan duf dan gendang sahaja bersandarkan kepada pendapat-pendapat ulama terdahulu .

Seterusnya ada ulama-ulama masa kini yang mengharuskan penggunaan seluruh alat muzik tanpa ada pengecualian tetapi mereka meletakkan syarat-syarat dan batas-batas penggunaan alat tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT. Mereka yang berpendapat demikian antaranya ialah:

  1. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam kitabnya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim.
  2. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam Al-Mar’ah wa Baitil Muslim juzuk 4 bab 8 iaitu Babul Lahwi wal La’ab.
  3. Dr. Mohammad Imarah di dalam bukunya Al-Islam wal Funun Al-Jamilah.
  4. Dr. Kaukab ‘Amir dalam bukunya As-Simaa’ ‘Inda As-Sufiyyah.

Pendapat mereka sama dengan pandangan beberapa ulamak terdahulu seperti Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibn Tahir Al-Qaisarani, Abdul Ghani An-Nablusi, Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie dan Al-Imam Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.

Sebagian daripada mereka seperti Al-Qardhawi berpendapat demikian kerana hadith-hadith yang mengharamkan alat-alat musik pada pandangan beliau sama ada sahih ghair sarih (sahih tetapi tidak nyata) ataupun sarih ghair sahih (nyata tetapi tidak sahih). Nas-nas yang seumpama ini tidak mampu untuk memutuskan hukum karena hukum mestilah diputuskan dengan nas yang sahih wa sarih (sahih dan nyata).

Sebahagian yang lain pula seperti Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab mempunyai pandangan yang sama dengan Al-Ghazali. Mereka menyatakan pengharaman alat-alat yang disebut di dalam nas-nas hadith adalah kerana ia merupakan syiar ahli fasiq dan maksiat. Pada pandangan mereka musik tidak haram dari sudut irama atau bunyinya. Tetapi yang menjadikannya haram ialah unsur-unsur eksternal yang lain yaitu ia adalah alat yang biasa digunakan di dalam majlis-majlis dan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan batas syara’. Justru itu alat-alat tersebut tunduk kepada perubahan tempat dan masa. Penggunaan alat-alat ini juga seharusnya disesuaikan dengan lingkungan yang dibenarkan oleh syara’ yaitu:

  1. Niat penggunaan alat-alat tersebut dan pendengar iramanya hendaklah betul berdasarkan kaedah Al-umur Bimaqasidiha.
  2. Tujuan dan suasana digunakan alat-alat tersebut ialah tujuan dan suasana yang baik, mulia dan tidak bertentangan dengan batas-batas syara’.

Dr. Kaukab ‘Amir menyatakan:
“Pada hakikatnya majlis-majlis maksiat pada hari ini seperti klab-klab malam menggunakan seluruh alat musik yang ada sekarang. Majlis-majlis tersebut tidak lagi menggunakan alat-alat tertentu (seperti zaman dahulu) malah keseluruhan alat digunakan. Oleh itu tidak mungkin untuk kita menghalalkan sebahagian alat (seperti duf dan gendang) dan mengharamkan sebahagian yang lain. Bahkan diharuskan kepada individu muslim mendengar irama alat-alat tersebut tetapi hendaklah menjaga adab-adab Islam serta tidak cuba meniru kelakuan dan perbuatan ahli-ahli fasiq dan maksiat."
Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:

  1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.
  2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
  3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.

Madzhab Maliki, asy-Syafi'i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru'ah. Adapun menurut asy-Syafi'i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya: "Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati".

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu'bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama'ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola." Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi'i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja'far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya'bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:? Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:"Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam". Berkata Ibnu Zubair: "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang".

Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta'akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabiin menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan.
Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara', maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara', maka dilarang.

Kedua: Alat Musik yang Digunakan.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

Ketiga: Cara Penampilan.
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.
Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan) .

Kelima: Aspek Tasyabuh.
Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: "Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka" (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Keenam: Orang yang menyanyikan.
Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya:"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik"(QS Al-Ahzaab 32)
Sumber: Note KITAB FATHUL MU'IN
Kitab Al-Barzanji

Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. 

Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.

Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Pensyarahan Kitab al-Barzanji

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail HijazAn-Nawawi Ats-TsaniSyaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”“Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.

Al-Barzanji dan Peringatan Maulid Nabi

Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.

Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)

Tujuan Peringatan Maulid dan Puji-pujian Kepada Rosulullah

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.

Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.

Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.

Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam.

Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.

Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” 
Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan:
“Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

via: sarkub.com


Abraj Al Bait
Abraj al-Bait
Agustus 2012. Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia meresmikan sebuah gedung yang terletak tepat di depan gerbang Baginda Abdul Aziz. Mereka menamakannya sebagai Abraj al-Bait.

Abrajal al-Bait adalah sebuah gedung yang sangat mewah, Bahkan, salah satu yang termewah di dunia. Di sana, ada 20 lantai pusat perbelanjaan dan hotel dengan 800 kamar. Gedung itu juga dilengkapi garasi untuk 1000 mobil, bahkan area parkir bagi dua pesawat pribadi. Untuk menikmati salah satu kamar di sana, kita harus meraup uang Rp. 7.000.000,- per malam. Dan, sebagai ganjarannya: kita akan mendapat pemandangan "luar biasa" yakni Ka'bah, lengkap dengan situasi ribuan bahkan jutaan orang yang bertawaf mengelilingi bangunan suci tersebut.

Pembangunan Abraj al-Bait merupakan puncak dari apa yang dilakukan Arab Saudi selama 50 tahun terakhir, yakni "komersialisasi Baitullah". Dalam kurun waktu itu juga, mereka telah meruntuhkan sekitar 300 bangunan Islam bersejarah, termasuk yang bersinggungan langsung dengan Nabi. Sederet tanah makam ditiadakan dan diganti menjadi lapangan parkir. Alhasil, sejarah dan sakralitas Makkah (Arab Saudi), yang justru menjadi kekuatan kota dan negeri itu, dibuldoser dan digantikan dengan berbagai pernak-pernik bangunan khas kapitalisme. Dan, tentu, itu bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan kenyamanan jamaah haji. Namun, itu benar-benar soal komersialisasi dan hedonisme.

Kapitalisasi memang sebuah kenyataan di negeri bersejarah itu. Namun, kapitalisasi tak mungkin bisa menyentuh, apalagi mengobrak-abrik, nilai-nilai sejarah dan sakralitas agama (Islam) tanpa ada legitimasi doktrinil. Dan, seperti dikemukakan Sami Angawy (pendiri Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah), komersialisasi Baitullah oleh kapitalisme itu berkelindan dengan Wahabisme. Inilah babak baru ketika paham yang seolah mengusung tema ajaran kesederhanaan ala Nabi itu 'bermesraan' dengan tangan kapitalisme yang hedonis. Dan, memang, pada dasarnya mereka bersikap antipati, bahkan menuduh bid'ah (mengada-ada) ritual simbolik semacam ziarah kubur, dll. Itulah yang kemudian menjadi legitimasinya. Dan, yang menjadi ironi sekaligus paradoks internal dalam tubuh Wahabisme di Arab Saudi, yakni mereka justru mendapatkan penghidupan secara ekonomi dari sesuatu yang mereka anggap mati dan alih-alih bisa menghidupkan; kapitalisasi makam.

Kemudian, yang juga menjadi ironi dari Abraj al-Bait karena gedung itu memiliki menara waktu. Bahkan menjadi menara waktu terjangkung, mengalahkan Big Ben yang tersohor di Londong itu. Konon, sejak awal, menara itu memang diniatkan untuk menjadi kiblat waktu bagi umat Islam seluruh dunia. Ironi karena itu dibangun dan berdiri di negara yang menjadi kawasan lahir, besar, berkembang dan titik penyebaran Wahabisme, yang sejak awal menjadi paham yang anti-waktu (dalam wujud kemodernan maupun sebaliknya) yakni dalam wujud kekunoan (tradisi).

Kini, legitimasi Wahabisme itu menyebar ke Suriah dan juga Jordania. Wahabisme berkelindan dengan kekuatan politik pemberontak di Suriah. Beberapa waktu yang lalu, persekongkolan itu menghadirkan episode mengerikan tentang penggalian makam salah satu sahabat Nabi Muhammad yang bernama Hujr Ibn Adi. Tak cukup itu, mereka bahkan membawa jasad yang konon masih utuh, sebagai bentuk pelecehan. Dua hari setelahnya, mereka melakukan pelecehan terhadap makam Sayyidina Ja'far At-Thayyar (saudara Sayyidina Ali Bin Abi Thalib) di selatan Yordania. Mereka melakukan pembakaran atas makam suci itu. Selain itu, saat ini mereka juga mengancam akan melakukan penyerangan dan pengrusakan sebagai bentuk pelecehan terhadap makam salah satu wanita mulia dalam sejarah Islam, Sayyidah Zainab, yang terletak di Damaskus, Suriah.

Bagi kita (umat Islam pada umumnya, baik Sunni maupun Syiah), merujuk pada Qur'an di QS. Al Baqarah: 154 dan juga di Ali Imran: 169, orang-orang mulia -apalagi sahabat Nabi Muhammad- itu tak pernah 'mati' (mati dalam pengertian sejati). Meskipun mereka telah tak bernyawa dan dikuburkan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Mereka 'hidup' dalam keabadian di sisi Allah. Mereka bahkan 'menghidupkan' (memberikan kehidupan dalam pengertian sejati) kita yang bernyawa ini. Mereka menjadi jembatan dalam relasi antara kita dan Allah. Karenanya, mereka patut diziarahi. Bukan sekadar hanya untuk mendoakan mereka. Tapi juga untuk kita sendiri, dengan menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah) bagi kita dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan-Nya. Karenanya, ancaman pelecehan terhadapnya akan bisa berdampak serius secara politik, bahkan militer. Dan, menurut penulis, menjadi ironi sekaligus paradoks internal dalam Wahabisme yakni mereka melakukan provokasi politik justru dari sesuatu yang menurut mereka mati (tak 'hidup', seperti dalam perspektif Sunni dan Syiah). Mereka seolah percaya bahwa makam memang 'hidup', sehingga bisa digunakan sebagai alat provokasi politik. Karenanya, mereka melakukan politisasi terhadap makam, dengan melecehkannya.

Pada akhirnya, menurut penulis, selain simbolisasi dari paradoks internal dalam paradigma Wahabisme, politisasi atas makam yang mulai dimainkan dalam konstelasi politik di Suriah secara tak langsung mengindikasikan bahwa, pertama, yang terjadi di Suriah memang bukanlah gerakan revolusi yang pada dasarnya bernilai positif sebagai gerakan perubahan ke arah yang lebih baik, melainkan sebuah gerakan pemberontakan destruktif yang mengarah pada pembentukan kekacauan dan status quo di Suriah. Kedua, politisasi makam merupakan simbol kebuntuan strategi politik dan bahkan militer kalangan pemberontak serta elemen-elemen asing yang menungganginya, khususnya Wahabisme Arab Saudi dan juga Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya. Sehingga, mereka tertuntut untuk melakukan politisasi agama (Islam) dengan melakukan pelecehan terhadap makam guna menggiring terbentuknya kekacauan dan status quo di Suriah.

Saya melihat situasi ini menjadikan gerakan pemberontakan yang terjadi di Suriah kini bukan lagi mengancam rezim Assad di Suriah, tapi juga otoritas suci Islam sebagai agama. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Nasrullah sebagai representasi Hizbullah, jika penodaan agama (Islam) menjadi alat politisasi di Suriah, para pemberontak Suriah secara tak langsung menyatakan perang pada umat Islam dunia, bukan lagi otoritas Assad di Suriah. Sebab, mereka telah menodai simbol suci Islam.  

*) Oleh : Husein Ja’far Al Hadar (Pengamat Masalah Keislaman),
Diskusi Virtual Bersama Penulis di Twitter Pribadinya: @Husen_Jafar

Source: Note FB
K. Kholil Tertawa Waktu Sholat

Ada kejadian menarik saat Kiai Kholil Bangkalan masih menjadi santri di Pesantren Langitan Tuban. Seperti biasanya Kholil muda selalu berjamaah, yang merupakan keharusan para santri. Suatu ketika di tengah sholat Isya’ tiba-tiba Kholil tertawa terbahak-bahak.

Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Muhammad Noer yang menjadi imam saat itu. Seusai sholat berjamaah, Kholil dipanggil ke ndalem kiai untuk diinterogasi.

Dengan berkerut kening kiai bertanya. “Kholil, kenapa waktu sholat tadi kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu bahwa hal itu mengganggu kekhusyukan sholat orang lain. Dan, sholatmu tidak sah.” ucap Kiai Noer sambil menatap Kholil. “Maaf kiai, waktu sholat tadi saya tidak dapat menahan tawa. Saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul (tempat nasi). Karena itu saya tertawa. Salahkah yang saya lihat itu kiai?” jawab Kholil muda dengan tenang, mantap dan sangat sopan.

Kiai Noer terkejut, Kholil benar. Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya. Kiai Noer duduk dengan tenang sambil menarik nafas. Sementara matanya menerawang lurus ke depan, lalu serta merta berbicara kepada Kholil.

“Kau benar anakku. Saat mengimami sholat tadi perut saya memang sudah sangat lapar. Yang terbayang dalam fikiran saya memang hanya nasi.” ucap Kiai Noer secara jujur.

Maka sejak kejadian itu kelebihan Kholil menjadi buah bibir. Tidak saja di pesantren Langitan, tetapi juga di sekitarnya.

Kiai Kholil muda tidak sedang meremehkan gurunya. Beliau sangat ta’dzim dengan semua gurunya. Beliau hanya perantara kehendak Allah. Di balik peristiwa itu ada suatu hikmah yang dalam. Allah bermaksud menyempurnakan iman sang guru.

*Dikutip dari buku biografi Kiai Kholil, Surat Kepada Anjing Hitam.
صورة تجمع شيخنا المحدث الفاضل خفيف الظل صاحب الروح المرحة الأستاذ الدكتور أحمد معبد عبدالكريم مع فضيلة الشيخ المحدث المربي أبي إسحاق الحويني -حفظهما الله-
Kondisi carut-marut di dalam tubuh umat Islam dewasa ini mengundang berbagai komentar dari para pakar ilmu Islam. Perbedaan-perbedaan pandangan terkait penafsiran teks agama; Alquran dan Hadis acap kali menimbulkan perpecahan intern yang kontra produktif. Mesir pasca revolusi telah ‘memuntahkan’ seluruh riak-riak persetruan ideologis kelompok-kelompok Islam yang sebelumnya seakan hilang terkubur. Mingguan Shout al-Azhar yang merupakan media resmi Al-Azhar kali ini mewawancarai secara eksklusif Prof. DR. Ahmad Ma’bid Abdul Karim, guru besar ilmu hadis Universitas Al-Azhar Mesir dan anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar.

A: Berdasarkan pengalaman ilmiah Anda, bagaimana kita dapat membedakan antara seorang pentahkik, ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih dan dai?

B: Sudah jamak diketahui, baik dulu maupun sekarang, bahwa pondasi ilmu adalah spesialisasi. Artinya, setiap penuntut ilmu harus memfokuskan studi dan perhatiannya pada satu bidang ilmu. Setelah menguasainya, dia mulai memperkaya spesialisasinya tersebut dengan beberapa ilmu terkait. Misalnya, dalam bidang ilmu hadis dikenal nama muhaddits (ahli hadis), yaitu orang yang belajar hadis secara mendalam dan memiliki karya tulis ilmiah otentik yang tidak berisi pendapat-pendapat menyimpang. Di samping ilmu hadis, seorang muhaddits perlu memperkaya diri dengan pengetahuan yang baik mengenai berbagai ilmu yang mendukung dan berkaitan dengan spesialisasinya tersebut. Misalnya ilmu sanad. Dengan menggunakan ilmu ini, sebagai seorang spesialis dalam bidang hadis, saya bisa mengetahui keshahihan hadis dan derajatnya. Seseorang tidak digelari sebagai ahli hadis jika tidak menguasai ilmu sanad ini.

Jika setelah menguasai ilmu sanad dia juga mempelajari matan hadis, maka dia akan disebut fakih hadis. Yaitu mengetahui kandungan hadis dan memahami hukum-hukum yang terkandung dalam teks hadis, baik hukum halal maupun haram. Sebagai contoh Imam Ibnu Hibban. Saat mengarang kitab Shahihnya, beliau membaginya berdasarkan pembagian hukum-hukum syariat. Pembagian semacam itu sekarang lebih dikenal luas dalam ranah kajian fikih hadis. Ada perbedaan antara fikih hadis dan fikih mazhab. Fikih hadis sifatnya lebih komprehensif dan umum, karena dalam menjelaskan hukum syariat tidak terbatas pada penjelasan hukum syariat dan penjelasan mazhab-mazhab fiqih saja. Oleh karena itu, seorang ahli hadis harus mengetahui mazhab-mazhab fikih. Demikian pula sebaliknya, seorang ahli fikih juga harus mengetahui ilmu hadis sebagaimana yang diketahui oleh seorang ahli hadis. Kemudian selanjutnya, hal-hal khusus yang berkaitan dengan detil-detil ilmu hadis ahli fikih tidak boleh ikut berbicara tentangnya. Karena, biasanya perkataannya tidak sempurna dan menyimpang, sementara perkataannya tersebut diterima oleh orang, sehingga orang mengira itu adalah hal yang benar. Padahal pengetahuannya tentang hadis tidak sedalam pengetahun yang dimilki ahli hadis.

Inilah yang mendasar dan prinsipil, bahwa setiap bidang spesialisasi memiliki seorang pakar yang menguasai bidangnya. Seseorang tidak boleh dia mengatakan dirinya adalah seorang ensiklopedis yang mampu berbicara dalam berbagai bidang. Karena klaim ensiklopedia ini membuatnya mau tidak mau terjatuh dalam kesalahan. Kita menginginkan agar seorang ahli tidak melibatkan dirinya dalam hal yang bukan bidangnya.

A: Akhir-akhir ini terdapat fenomena yang sudah tersebar di tengah masyarakat, berupa julukan “pemikir islam”, “alim yg mengetahui berbagai bidang ilmu (ensiklopedis)” yang diberikan kepada sejumlah penulis, tanpa lebih dulu melihat track record pemikiran dan sejarah keilmuannya. Bagaimana Anda melihat fenomena seperti itu?

B: Ya, itu banyak sekali. Ada beberapa buku hadis yang diserahkan kepada saya untuk saya nilai. Dalam sampulnya tertulis bahwa penulis buku tersebut adalah seorang pemikir Islam, padahal profesi dia bukan itu. Saya temukan di dalamnya banyak hadis yang tidak memiliki sumber (asal-usul), dan si penulis mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, tanpa menyebutkan letaknya di mana di dalam Shahih Bukhari; karena hadis tersebut memang tidak ada dalam Shahih Bukhari sama sekali. Kemudian, dia juga berkeyakinan bahwa Imam Bukhari tidak salah sama sekali, meskipun dia seorang manusia. Akan tetapi, dia harus menunjukkan letak hadis tersebut dalam sahih Bukhari dan juga harus menyebutkan para ulama yang sependapat dengan Imam Bukhari. Di sini saya mengharapkan dari para ulama, agar menghindari anggapan Imam Bukhari tidak pernah salah sama sekali, karena dia adalah seorang manusia biasa yang tidak ma`shûm (terjaga dari kesalahan).

Sebagai contoh, hadis:

لن يدخل الجنة أحد بعمله

“Seseorang tidak akan masuk surga karena amal perbuatannya.”

Penulis tadi berkata, “Apa yang menghalangi kita untuk mengatakan bahwa Bukhari lupa kata (إلاّ), sehingga hadis tersebut menjadi (إلا بعمله) “kecuali karena amal perbuatannya”?

Sudah pasti, tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang kedhabitan (validitas hafalan dan catatan) Imam Bukhari, kecuali seseorang yang ahli dalam hadis.

A: Ada orang yang berbicara tentang ilmu hadis, dan berfatwa bahwa hadis ini dhaif (lemah)?

B: Orang yang berfatwa harus menentukan dengan jelas masalah yang ditanyakan di dalam permohonan fatwa. Artinya, Anda bertanya kepada saya tentang sebuah hadis, apakah dhaif (lemah) atau tidak? Ini membutuhkan seorang pakar hadis untuk menjawabnya. Namun jika Anda bertanya hukum syariat yang berhubungan dengan hadis ini, maka ini membutuhkan seorang pakar dalam fikih hadis. Oleh karena itu, setiap ulama memiliki spesialisasi masing-masing dan tidak dibenarkan berfatwa di luar spesialisasinya. Akan tetapi, permasalahan yang kita hadapi di Mesir adalah orang yang paling banyak berbicara tentang agama adalah orang yang paling jauh dari spesialisasi yang diperlukan.

A: Saat ini kita banyak melihat hal-hal baru, seperti chanel-chanel televisi yang berlabel chanel islami dan mengizinkan kepada siapa saja untuk berbicara atas nama agama Islam. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

B: Banyak sekali orang yang menyampaikan materi-materi keislaman dalam chanel-chanel tersebut. Namun, apabila diterapkan sistem spesialisasi, maka Anda tidak akan menemukan pekerjaan bagi mereka, dan Anda juga tidak akan melihat mereka mempunyai pekerjaan.

A: Menurut Anda, siapa yang layak melakukan tahkik terhadap kitab-kitab turâts?

B: Orang yang layak mentahkik kitab-kitab turats (klasik) adalah orang yang telah berpengalaman dalam bidang tahkik, mengetahui cara membaca manuskrip, mengetahui jenis manuskrip, cara memilah teks yang benar dan memberikan komentar terhadap teks tersebut, serta mampu menghilangkan permasalahan dan menjelaskan sesuatu yang tidak difahami di dalam teks. Akan tetapi yang terjadi saat ini sangat berbeda. Dan sangat disayangkan, sekarang tahkik diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, disebabkan merebaknya fenomena jual beli ilmu-ilmu agama.

A: Bagaimana Anda melihat banyaknya dai yang menyampaikan tentang kematian, tanda-tanda kiamat dan azab kubur yang membuat orang-orang takut?

B: Terdapat perbedaan antara informasi dengan cara mengonsumsinya. Dakwah sendiri harus berlandaskan pada dua unsur; at-Targhiib wa at-Tarhiib (membuat orang senang dan membuat orang takut). Seorang dai yang sukses harus bersikap moderat, tidak hanya menyampaikan hal-hal yang membuat orang-orang ketakutan sehingga mereka menjauh, dan tidak pula hanya menyampaikan hal-hal yang membuat orang-orang senang, sehingga orang-orang akan meremehkan agama. Setiap dai tidak boleh mengupas satu sisi saja.

A: Terdapat hadis yang selalu disampaikan orang-orang dari Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Semua kelompok dari kaum Muslimin menganggap dirinya sebagai golongan yang selamat tersebut. Lalu bagaimana derajat hadis tersebut?

B: Permasalahannya bukan pada hadis tersebut, karena hadis tersebut derajatnya shahih. Namun permasalahannya terletak pada orang yang mengklaim bahwa golongan yang selamat dalam hadis itu adalah dirinya dan golongannya. Ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam ditanya, “Siapa golongan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan yang mengikutiku dan para shahabatku.” Lalu siapa yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam ada pada satu golongan? Nah di sinilah problemnya, yaitu setiap golongan menisbatkan hal ini pada dirinya.

A: Dalam kondisi seperti saat ini, di mana terjadi persetruan antar berbagai pemikiran membuat kaum Muslimin kebingungan, maka apa pesan Anda kepada kaum Muslimin?

B: Hendaknya setiap Muslim mengikuti apa yang membuat hatinya tenang. Karena pada umumnya, kaum Muslimin mengikuti apa yang mereka anggap dekat dengan hati mereka, membuat hati mereka tenang dan tidak membuat hati mereka susah. Jika mereka mendapati suatu permasalahan yang tidak membuat hati mereka tenang, maka mereka harus bertanya kepada spesialis dalam permasalahan tersebut.

A: Terdapat hal-hal yang menurut sebagian kelompok perlu direalisasikan, seperti Khilafah Islamiyah, agar kondisi kaum Muslimin menjadi baik. Apa pendapat Anda?

B: Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan. Permasalahannya bukan pada khilafah itu sendiri, akan tetapi pada bagaimana merealisasikannya, karena tidak ada seorang pun yang mampu menegakkannya di luar institusi negara. Karena jika Anda katakan, “Kita mulai dengan mendirikan khilafah”, maka akan terjadi konflik antara berbagai negara dalam menentukan negara mana yang menjadi pusat khilafah. Jika ada orang yang setuju dengan apa yang Anda tanyakan, maka dia orang yang tidak hidup dalam realita. Jadi permasalahannya pada orang yang menyerukan masalah ini. Saya sendiri melihat banyak selebaran yang menyerukan pendirian khilafah. Namun itu akan sia-sia belaka. Dan untuk saat ini, seruan tersebut hanya akan menimbulkan perpecahan. Semua orang yang mengadopsi pemikiran tersebut untuk saat ini tidak membawa kebaikan.

A: Syiah mengklaim bahwa mereka lebih mencintai Ahlu Bait Rasulullah dibanding Sunni, bagaimana pendapat Anda?

B: Orang yang mengklaim paling mencintai Ahlu Bait tersebut adalah orang yang paling banyak menyakiti mereka. Oleh karena itu, permasalahan tentang siapa yang lebih berhak terhadap Ahlu Bait sebenarnya kembali pada sikap egois. Dan permasalahan yang terjadi saat ini adalah seperti yang kita alami sebelumnya, yaitu kita tidak membuka celah sama sekali, baik kecil maupun besar, bagi syiah dan kita tidak menemukan tauladan yang mewakili hal tersebut. Seruan-seruan ini muncul setelah kekalahan Mesir pada tahun 67 (peperangan dengan Israel yang dimenangkan oleh Israel), karena ia mengubah mesir dari negara yang memimpin menjadi negara yang terjajah dengan semua bentuk penjajahan. Sehingga orang-orang tidak percaya sama sekali dengan siapapun. Kemudian kondisi berubah, namun bukannya menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya, orang-orang semakin tidak percaya dengan orang lain. Saat ini kita ingin mendirikan bangunan berdasarkan pondasi-pondasi yang tidak mengenal kepentingan pribadi dan kelompok.

A: Sebagian orang berpendapat bahwa ekstrimisme beragama di Mesir semakin meningkat?

B: Permasalahannya saat ini adalah orang-orang tidak menjaga hati masing-masing. Kita memerlukan adanya tauladan, perlu menyatukan kekuatan dan persatuan, serta tidak terpecah belah dan bersikap fanatik. Karena, hal-hal inilah yang menjadi kekurangan kaum Muslimin saat ini.

Sumber: www.mosleminfo.com
Kisah Seekor Monyet

Alkisah, 'si angin' yang gagah perkasa diperintahkan oleh raja berkuasa untuk menjatuhkan seekor monyet dari pohon. Itu perintah simpel, jatuhkan monyet dari pohon tanpa merobohkan pohonnya. Maka, tanpa banyak tanya, berangkatlah si angin pergi ke hutan, hendak menunaikan tugas tersebut. Tidak butuh waktu lama, dia bisa menemukan seekor monyet muda yang sedang asyik duduk di atas pohon besar, sedang makan buah. Si angin menggeram kencang, mulai beraksi, dia bertiup kencang sekali. Si monyet kaget, tapi dengan cepat bisa berpegangan ke dahan pohon. Debu berterbangan, daun berkibar, dahan tersibak, hutan itu mulai dilanda angin ribut. Tapi apes bagi angin, sekencang apapun dia bertiup, itu monyet tidak jatuh, malah memeluk dahan pohon tambah erat. Rontok dedaunan, patah ranting-ranting, pohon-pohon tersibak rebah jimpah, si monyet tetap tidak jatuh. 

Si angin mulai putus asa, dia menggerung marah, bersiap mengirim badai besar, hendak menghancurkan hutan tersebut. Tapi dia segera ingat, raja menyuruhnya menjatuhkan monyet, bukan mencabut pohon besar tempat monyet itu berpegangan. Aduh, bagaimana ini? Maka setelah berjam-jam mencoba tanpa hasil, hingga semalaman, tetap gagal, pulanglah si angin dengan tangan hampa. 

Raja tertawa mendengar cerita si angin. Bilang, si angin salah strategi, tentu saja monyet itu akan tetap memeluk pohon tersebut bahkan kalaupun pohon sudah roboh. Setelah puas tertawa, kali ini raja menyuruhnya kembali ke hutan, lakukanlah dengan cara yang berbeda. Si angin, meski bingung dengan penjelasan raja, patuh, kembali ke hutan tersebut. Dia melaksanakan sesuai perintah, kali ini si angin mulai bertiup lembut, sangat lembut, seperti semilir yang meninabobokan. Saran raja efektif sekali. Astaga lihatlah, tidak butuh waktu lama, si monyet jatuh tertidur di atas dahan. Dan dengan situasi tersebut, dengan si monyet lelap tertidur, maka cukup satu sentakan angin kencang, si monyet jatuh ke bawah. Misi selesai.

Saya ingat sekali cerita ini. Selalu ingat. Pun termasuk nasehat di dalamnya.

Bahwa dalam hidup ini, kita boleh jadi memang gagah perkasa berhasil menghadapi hal-hal buruk yang bersifat besar. Kita menolak untuk melakukan korupsi besar, kita menolak mencuri besar, kita jelas sekali gagah menghadapi itu semua. Karena terlihat, besar, dan jelas. Tapi kadang kita tidak menyadari, justeru kita bisa jatuh gara-gara sesuatu yang kecil, yang berhasil meninabobokan kita. Sesuatu yang kita sepelekan, yang tidak kita sadari (atau lebih tepatnya tidak kita pedulikan), sesuatu yang buruk, yang justeru lama-lama menjadi bukit, menjadi besar sekali. Menjebak kita, membuat kita menganggapnya lumrah. Lantas dengan sebuah godaan lebih besar, kita tutup mata, tergoda, maka jatuhlah kita seperti si monyet.

Saya tidak tahu apa hal-hal kecil itu. Apa korup kecil-kecilan itu, apa mencuri kecil-kecilan itu. Saya serahkan ke masing-masing orang untuk memikirkannya. Karena toh, saya juga pusing dan cemas memikirkan korup/mencuri kecil-kecilan milik saya. Dalam jangka panjang, ini akan menjadi PR besar. Semoga orang-orang memahami catatan ini.

Sumber: Catatan Tere Lije
Foto: Farida Farichah
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Amerika, India, dan Cina. Jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta jiwa (SP, 2010). Angka tersebut didominasi remaja usia 10-24 tahun dengan jumlah 64 juta jiwa atau 27,6% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia.

Besarnya jumlah remaja merupakan modal dasar untuk kemajuan Indonesia. Masa depan Indonesia ada di tangan mereka. Tidak sedikit prestasi anak negeri di dunia Internasional. Adalah Limiardi Eka S (SMAK Penabur Gading Serpong) dan Erwin Handoko Tanin (SMA Sutomo Medan) peraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Asia ke-13 di India. Juara itu disusul satu perak dan satu perunggu. Pelajar Indonesia juga peraih juara umum di ajang olimpiade matematika kelas dunia, Wizard at Mathematics International Competition (WIZMIC 2011). Tidak sedikit anak negeri ini peraih medali emas di ajang kompetisi sains dan rancang robot. Tidak sedikit pula karya anak negeri ini yang membanggakan.

Ingatan segar kita pun tertuju Arrival Dwi Santoso siswa SMP 48 Bandung yang menciptakan ARTAV antivirus. Belum lagi kreativitas siswa SMP yang tahun kemarin meretas situs Presiden RI. Baru dua hari yang lalu mahasiswa UNIKOM Bandung berhasil meraih medali emas di ajang lomba robot tingkat internasional di Amerika Serikat. Dan masih banyak lagi deretan prestasi anak negeri ini. Prestasi yang tidak sedikit dan patut dibanggakan ini, merupakan bukti bahwa kualitas pelajar kita mampu bersaing di dunia internasional.

Panjangnya deretan prestasi pelajar kita tidak serta menunjukkan baiknya rapor pendidikan kita. Sederet prestasi itu diiringi dengan sederet permasalahan pendidikan dan pelajar itu sendiri. Akses pendidikan yang masih jauh dari kata ‘merata’ merupakan masalah utama pendidikan kita. Kebijakan pendidikan 20% anggaran belum benar-benar dirasakan siswa. Besarnya anggaran 20% juga belum dapat menaikkan kualitas pendidikan secara signifikan. Carut marutnya Ujian Nasional yang baru saja lewat minggu kemaren merupakan PR besar bagi kita bersama untuk menata pendidikan lebih baik. Sebagai rakyat awam, kita sangat heran bagaimana mungkin UN sebagai rutinitas tahunan dan sudah belasan tahun dilaksanakan masih menyisakan permasalan teknis. Ini menjadi pertanyaan besar. 

Permasalah lain adalah potret perilaku pelajar kita yang identik dengan tawuran, asusila, amoral, narkoba, dan sisi gelap lainnya. Berdasarkan penelitian dari Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2010 di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (JATABEK) terhadap 3006 responden (usia 17-24 tahun), sebuah hasil menunjukkan 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah, dan 38,7% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran setelah menikah. Dari data itu, terdapat proporsi yang relatif tinggi pada remaja yang melakukan pernikahan disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan Badan Narkotika Nasional tahun 2012 melansir 32.743 tersangka penyalahgunaan narkoba. Sebanyak 1.944 dari angka itu adalah mereka yang berada pada kelompok usia 16-19 tahun. Sedangkan 5.057 darinya berasal dari pengguna usia 20-24 tahun.

Di sisi lain, jumlah kasus HIV AIDS yang dilaporkan per 1 Januari sampai 1 September 2012 adalah 15.372 untuk HIV dan 3.541 untuk AIDS. Sementara secara kumulatif, kasus HIV dan AIDS sampai dengan 30 September 2012 tercatat sebanyak 92.251 untuk HIV dan 39.434 untuk AIDS (KEMENKES, September 2012). Tahun 2011 LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) melansir hasil penelitian bahwa 48,9% siswa SMP & SMA se-Jabodetabek bersedia terlibat aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Sebanyak 14,2% membenarkan aksi pengeboman seperti yang dilakukan oleh Imam Samudera dan lainnya.

Inilah segudang permasalahan sosial pelajar kita. Permasalahan pelajar dan pendidikan bukan sekadar tanggung jawab pemerintah. Seluruh komponen masyarakat Indonesia memikul tanggung jawab yang sama. Sekarang, bukan waktunya saling menuding dan menghujat siapa paling salah atas semua permasalahan itu. Kini waktunya bagaimana berbuat untuk mengurangi permasalahan itu dan memperbaiki generasi yang akan datang. 

Bergerak bersama pelajar Indonesia adalah salah satu kunci bagaimana kita mengatasi permasalahan tersebut. Bergerak bersama pelajar adalah bagaimana kita menata masa depan pelajar dengan memosisikan pelajar tidak lagi sebagai obyek tetapi sebagai subjek. Keterlibatan pelajar dalam menyelesaikan masalah terkait pelajar akan sangat efektif mengingat mereka adalah bagian komponen yang sangat kreatif.

Pendidikan kita yang cenderung masih menganggap pelajar sebagai objek, harus mulai dipinggirkan bahkan dihilangkan. Sekarang saatnya kita duduk bersama dengan mereka untuk memberikan pemahaman agar mereka mengetahui dan peduli terhadap permasalahan mereka yang pada akhirnya solusi permasalahan tersebut bisa jadi dari mereka. Kini saatnya kita membangun paradigma dari pelajar, oleh pelajar, dan untuk pelajar. Pelajar adalah aset bangsa di mana masa depan negara ada di tangan mereka.

*Penulis: Farida Farichah (Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama ([PP IPPNU])
** Sumber : NU Online
Lambang IPNU
NU Online, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Khairul Anam mewakili seluruh kader IPNU di daerah merasa sangat perihatin dengan proses pelaksanaan Ujian Nasional (UN). 

Keprihatinan dengan proses distribusi soal yang terlambat, penundaan pelaksanaan UN terjadi dimana-mana, soal-soal yang rusak dan tidak terbaca, bocoran kunci jawaban soal palsu sampai kemudian anggaran UN untuk Sekolah Dasar (SD) pun belum cair sampai sekarang.

“Ini adalah bencana pendidikan dan semua pihak harus bersama-sama mencari solusi, baik Presiden, Bapak Menteri Pendidikan, Kemendikbud, DPR, Perusahaan, Masyarakat dan bahkan kami IPNU sebagai organisasi komunitas pelajar pun merasa bertanggung jawab atas kejadian ini, so jangan saling menyalahkan ,” kata Anam menambahkan.

“Kami dalam hal ini PP IPNU terus berkoordinasi dengan rekan-rekan di daerah untuk mengumpulkan data, bahkan data info kami terima ada soal untuk wilayah Depok yang nyasar ke Karawang, ini problem sangat teknis. Untuk itu, perlu didalami persoalannya dan diinvestigasi secara menyeluruh sehingga diperoleh hasil yang komprehensif, mulai dari regulasi, sistem anggaran dan pelaksanaan teknis di lapangan, jangan ada dulu yang mundur dari tugas dan tanggung jawab sebelum semuanya bisa diungkap” tuturnya. 

Terkait dengan karut-marutnya persoalan pelaksanaan UN ini PP IPNU akan memanfaatkan momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei 2013 sebagai hari refleksi pendidikan, PP IPNU akan melakukan aksi keprihatinan dan Kegiatan “Rembuk Pelajar” bersama para tokoh pendidikan nasional untuk mencari akar masalah pendidikan ini dan solusi bersama semua pihak. 

“UN akan kita bedah secara keseluruhan, mulai dari paradigma, regulasi, sistem anggaran dan pelaksanaan teknis di lapangan apakah masih efektif sebagai alat evaluasi pendidikan saat ini, hasilnya akan kami berikan ke semua pihak sebagai rekomendasi, ini gerakan yang solutif, tidak demo teriak-teriak," tegas Anam. 

Kegiatan “Rembuk Pelajar” ini rencana akan dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2013 sebagai puncak Hari Pendidikan Nasional.

Redaktur : Mukafi Niam
Sumber : NU Online