Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) : Kajian Kesejarahan, Konsepsi dan Penerapan Aswaja dalam Keseharian (Bag-3)

Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja)

AQIDAH AHLUSSUNNAH ADALAH TEOLOGI ASY’ARI DAN MATURIDI

Jika dalam bidang fiqh Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) menjelma dalam cakupan empat madzhab, maka dalam bidang teologi, Aswaja juga memiliki keidentikan dengan madzhab tertentu, dalam hal ini hanya tertentu pada madzhab teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Mengapa demikian? Karena kedua tokoh inilah yang pertama kali merumuskan secara baku, pokok-pokok akidah yang sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau berdua sangat ketat membentengi akidah imam madzhab empat, karena berkeyakinan atas kebenaran mereka pada jalur sunah Rasulullah dan para sahabatnya. Imam Asy’ari mengikat dirinya pada madzhab fiqh As-Syafi’i, sedangkan Abu Manshur Al-Maturidi mengikat dirinya pada madzhab fiqh Imam Abu Hanifah.

Kenyataan bahwa Aswaja hanya tertentu pada pengikut faham Asy’ari dan Maturidi ini dikuatkan oleh pernyataan sejumlah ulama’. Diantaranya adalah Al-Imam al-Alim al-Alamah as-Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini. Ulama’ yang dikenal dengan Syaikh Murtadla Az-Zubaidi dalam kitab beliau Ittihaf Sadat al-Muttaqin syarah Ihya’Ulumiddin karya Al-Ghazali dalam fasal kedua dari muqaddimah syarah ‘aqaid menyatakan sebagai berikut :
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة فَالْمُرَادُ بِهِمْ أَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّة

Jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dikehendaki adalah pengikut faham Asy’ari dan Maturidi.

Demikian pula pernyataan Syaikh Ahmad bin Musa al-Kayali dalam Hasiyah syarah al-’Aqa’id karya Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi :
الأَشَاعِرَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة أَيْ بِحَيْثُ إِذَا أُطْلِقَ هَذَا اللَّفْظُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة لَمْ يَنْصَرِفْ إِلاَّ إِلَيْهِمْ

Para pengikut Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Artinya, jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, tidak akan diarahkan kecuali pada golongan tersebut.

Pada awalnya, Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari belajar ilmu kalam dari Abu Ali Al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Setelah meyakini kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Abu Hasan Al-Asy’ari lah orang pertama yang menantang akidah tokoh Mu’tazilah tersebut. Berdiri di hadapan massa, di atas mimbar masjib Bashrah, dengan lantang beliau menyatakan keluar dari madzhab Mu’tazilah. Setelah itu beliau rajin menyusun karya yang menegaskan pendirian Ahlussunnah wal Jama’ah dan meng-counter pendirian Mu’tazilah.

Dalam sejumlah sumber, dikisahkan perdebatan antara Abu Hasan Al-Asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai dalam rangka menolak dan membatalkan pendapat Mu’tazilah, sebagai berikut :

Al-Asy’ari : Bagaimana pendapatmu tentang tiga orang saudara yang telah meninggal dunia, yang satu orang taat, yang kedua meninggal dalam keadaan maksiat, dan yang ketiga meninggal saat masih kecil?
Al-Juba’i : Yang taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, kemudian yang kecil ada di antara surga dan neraka (manzilatun baina manzilataini) artinya tidak diberi pahala dan tidak disiksa
Al-Asy’ari : Jika yang kecil mengatakan ”Wahai Tuhanku mengapa Engkau mengambil nyawaku ketika aku masih kecil. Jika saja Engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”. Lalu, bagaimana jawaban Allah swt.?
Al-Juba’i : Allah swt menjawab, “Aku tahu jika kau hidup sampai dewasa maka kau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah kau mati ketika masih kecil”.
Al-Asy’ari : Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan, ”Wahai Tuhanku jika engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu apa yang dikatakan Allah swt.?

Antara Teologi Asy’ari dan Maturidi


Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi sepakat dalam masalah sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah swt., bagi Rasul dan malaikat-Nya, serta sepakat dalam sifat jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, walaupun keduanya berbeda dalam cara penalarannya.

Keduanya berbeda pendapat dalam tiga permasalah aqidah yang tidak sampai membahayakan. Pertama, dalam permasalahan istitsna’ (pengecualian). Yakni perkataan seseorang “Saya beriman, Insya Allah (jika Allah menghenmdaki)”. Menurut Asy’ariyah diperbolehkan, menurut Al-Maturidiah tidak diperbolehkan.

Kedua, dalam permasalahan takwin, (secara harfiah bermakna mewujudkan, bentuk mashdar dari amar kun, “jadilah”). Menurut Maturidi takwin (mewujudkan) seperti memberi rizqi, menjadikan hidup mati, memberi rizqi sejalanQudroh, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin (mewujudkan) dan takwin bukan mukawwin (yang menjadikan). Menurut Asy’ari takwin tidak berbeda dengan Qudroh dengan memandang hubungan Qudroh dengan hubungan yang khusus. Mewujudkan adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan kepada makhluq. Memberi rizqi adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rizqi. Wallohu A’lam.

Ketiga, status keimanan seseorang melalui taqlid, sekedar mengikuti orang lain yang dipercayainya tanpa mengetahui dalil atau argumentasi rasionalnya. Menurut kalangan Maturidiyyah, keimanan seorang yang ikut-ikutan adalah sah, sehingga orang-orang awam sudah bisa disebut dengan ‘arif (orang yang ma’rifat kepada Allah) dan masuk surga. Sedangkan menurut kalangan Asy’ariyyah ber-ma’rifat (beriman dengan keyakinan yang tumbuh dari dalil) adalah wajib, tidak cukup hanya dengan taqlid.

Mengenai status keimanan dari muqallid ini, di antara ulama’ Asy’ariyyah terdapat tiga pendapat, yaitu (1) statusnya mu’min tapi berdosa, karena meninggalkan kewajiban ber-ma’rifat melalui dalil, (2) statusnya mu’min, dan tidak berdosa kecuali jika ia mampu bernalar pada dalil namun ia tidak mau melakukannya, (3) Tidak dianggap mu’min sama sekali.

Aqidah-Aqidah yang Disepakati Ahlussunnah Wal Jama’ah


Sejumlah masalah terkait aqidah, di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah disikapi dengan beragam pendapat. Sejumlah aqidah masih menjadi kontroversi pendapat, sejumlah aqidah lainnya telah disepakati. Aqidah-aqidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah yang menjadi standar sesat bagi orang-orang yang tidak meyakininya, adalah sebagai berikut (baca: Al-Farqu baina al-Firaq):
  1. Pengakuan terhadap adanya hakikat dan ilmu (pengetahuan yang mengantar pada keyakinan) secara khusus dan umum. Artinya: mereka sepakat adanya ilmu ma’ani (sifat yang berwujud yang andai hijab atau penghalang dibuka akan dapat dilihat).
  2. Keyakinan kebaruan alam dengan segala macam pembagiannya, yang berupa sifat atau jisim(materi, zat). Artinya, mereka sepakat bahwa alam adalah semua yang selain Allah. Sedangkan semua yang selain Allah dan selain sifat-Nya adalah makhluk (ciptaan). Mereka sepakat bahwa Pencipta alam bukanlah makhluk (ciptaan), bukan dari jenis alam, bukan pula jenis dari juz (partikel) alam.
  3. Pengetahuan tentang Pencipta alam dan sifat-Nya yang dzati. Mereka sepakat bahwa segala hal yang baru (hawadits) pasti ada penciptanya. Maka sesatlah golongan Qodariyah yang mengatakan bahwa perbuatan (yang juga termasuk hal baru, hawadits) tiada yang menciptakan.
  4. Sifat-sifat yang ada pada dzat Allah yakni ilmu, hayat, qudrat, iradah, sama’, bashar dankalam, berupa sifat yang azali dan abadi.
  5. Nama-nama Allah adalah tauqifi (dogmatik) didasarkan pada pengambilan dari Al-Qur’an dan hadis, tidak dengan dengan cara qiyas, sebagaimana dipahami Mu’tazilah yang menyatakan bahwasanya Allah adalah مطيع لعبده (yang taat pada hamba-Nya) jika Allah mengabulkan apa yang dikehendaki hamba-Nya. Mereka juga menyebut Allah dengan محبل للنساء (yang menghamili perempuan) tatkala Allah menjadikan perempuan hamil.
  6. Pengetahuan tentang keadilan dan kebijaksanaan Allah. Dia yang menciptakan materi dan sifat, baik dan buruknya. Allah yang menciptakan usaha hamba. Tiada pencipta selain Dia. Hal ini berbeda dengan golongan Qadariyyah yang berpendirian bahwa Allah sama sekali tidak menciptakan sesuatupun dari usaha para hamba. Berbeda pula dengan golongan Jahmiyyah atau Jabariyyah yang berpendirian bahwa para hamba tidak punya upaya atas terwujudnya perbuatan. Pendirian moderat yang dipedomani ahlussunnah adalah bahwa para hamba memiliki usaha mewujudkan perbuatan, akan tetapi Allah lah yang menciptakan usaha itu.
  7. Allah mengutus para utusan (rasul) yang mempunyai sifat ma’shum (terpelihara) dari dosa kecil dan dosa besar, sebelum menjadi utusan atau sesudahnya. Antara rasul dan nabi terdapat perbedaan.
  8. Adanya mu’jizat dan karamah. Semua Nabi pasti dikukuhkan dengan mu’jizat, sedangkan wali terkadang memiliki karamah, terkadang juga tidak.
  9. Islam dibangun atas lima dasar dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Barangsiapa mengingkari salah satunya atau menginterpretasikan dengan makna lain, maka ia dihukumi kafir.
  10. Status hukum perbuatan mukallaf ada lima, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
  11. Allah mampu meniadakan / membinasakan alam secara keseluruhan, atau sebagian jisim atau materi dan menetapkan sebagian yang lain. Sesatlah golongan Qadariyah yang mengatakan Allah tidak mampu merusak sebagian alam dengan menetapkan sebagian yang lain.
  12. Tentang khilafah dan imamah (kepemimpinan). Pendirian Imamah hukumnya wajib guna mengatur segala hal terkait kepentingan umat. Ahlussunnah sepakat bahwa pembentukan imamahmerupakan hal yang bernuansa ijtihadi (interpretable). Dalam permsalahan khalifah, Rasulullah tidak pernah melakukan penunjukan terhadap orang-orang tertentu secara eksplisit. Maka sesatlah kaum Rafidlah yang menyatakan bahwa Rasul telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra.
  13. Tentang iman dan Islam. Ahlussunnah sepakat bahwa standar asal keimanan adalah pada tataran keyakinan dan ikrar dalam hati, sementara ketaatan atas amaliah wajib tidak berpengaruh pada status asal keimanan seseorang.
  14. Tentang status kewalian
  15. Musuh-musuh agama, ada dua golongan. (1) Golongan yang menampakkan diri sebelum adanya kekuasaan Islam, seperti penyembah berhala, pemuja matahari, rembulan dan bintang-bintang, pemuja setan dan lain-lain. (2) Golongan yang menampakkan diri setelah adanya kekuasaan Islam, yaitu orang-orang kafir yang bersembunyi di balik lahiriah keislaman mereka akan tetapi menikam kaum muslimin dalam keadaan lengah seperti Sekte Ghulat (sekte sempalan Rafidlah Sabaiyyah), Bayaniyyah, Mughayriyyah, Manshuriyyah, Janahiyyah, Khaththabiyyah, dan lain-lain.

-----------------------------
Oleh : H. M. Azizi Hasbullah
Sumber : lbm.lirboyo.net